MULTIKULTURALISME
Pengertian multikulturalisme
diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah
pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang
pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun
1950 di Kanada.
Multikulturalisme ternyata bukanlah
pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks,
nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi
tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis,
karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis
tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan
budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua
ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of
recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme
budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap
perjuangan kelakuan budaya yang berbeda.
Walaupun multikulturalisme telah
digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendisain kebudayaan bangsa
Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep
yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman
dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan
yang mengandung ideologi, politik, demokerasi, penegakan hukum, keadialan,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas.
Memang dalam kerangka konsep
masyarakat multikultural dan multikulturalisme tidaklah terlalu baru di
Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip
negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah
masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan.
Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digambarkan oleh John Haba tentang
semangat kekristenan mulai menurun dikalangan intelektual dunia barat
dipengaruhi semangat multikulturalisme, maka persilangan paradigma, tentang
boleh tidaknya gereja dilakalangan misi bukan kristen. Para intelektual barat
melemahkan visi dan misi gereja di era posmodernisme dan mereka bersikap apatis
dan bahkan memilih menjadi pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi warga
gereja. (John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk).
Multikulturalisme bukanlah sebuah
wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan
sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat.
multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari
ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk
dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan
bermasyarakat untuk memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan
berupa konsep-konsep yang relevan dan mendukung serta keberadaan
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari multikulturalisme
adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan
yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme
merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dulihat dari perfektif
fungsinya bagi manusia. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural).
Dengan pengunaan istilah dan praktek
dari multikulturalisme terdapat lima jenis
multikulturalisme; pertama,
1.
“multikulturalisme asosianis” yang mengacu
pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom
dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat
pada sistem “millet”, mereka menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan
kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya.
2.
“multikultualisme okomodatif” nyakni
masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat penyesuaian,
mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat
multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang, hukum dan
kekuatan sensitif secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas
untuk mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang
dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa
negara Eropa yang lain.
3.
“multikultural otomatis” masyarakat
yang plural dimana kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan
dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan
dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang
berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang
setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya.
4.
“multikulturalisme kritikal
interaktif” masyarakat yang plural dimana
kelompok kultur tidak terlalu concern dalam kehidupan kultur otonom; tetapi
lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perfektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan
Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan.
5.
“multikultural kosmopolitan”, yang
berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat
dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia
secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus
mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini adalah
para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki kecenderungan
posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka
pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya).
Multikulturalisme dalam penerapan
dan bagaimana kita cara melaksanakannya. Konsep dan kerangka dalam
multikulturalisme di paparkan oleh B. Hari Juliawan dengan membagi
multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya. Pertama kerangka
multikulturalisme berkenaan dengan istilah multikulturalisme itu sendiri.
Multikulturalisme menunjukan sikap normatif tentang fakta keragaman.
Multikulturalisme memilih keragaman kultur yang diwadahi oleh negara, dengan
kelompok etnik yang diterima oleh masyarakat luas dan diakui keunikan etniknya.
Kelompok etnik tidak membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi lembaga
publik dan hak dalam masyarakat agar mengakomodasi keunikannya. Kerangka
multikulturalisme kedua, merupakan turunan kerangka yang pertama nyaitu
akomodasi kepentingan, dikarenakan jika kita ambil saripati dari
multikulturalisme adalah menegemen kepentingan. Kepentingan disini merupakan
yang relevan dari konsep multikulturalisme yang terbagi menjadi dua macam
kepentingan yang bersifat umum dan khusus.
·
Kepentingan yang bersifat umum
pemenuhan yang sama pada setiap orang tanpa membedakan identitas kultur.
·
Sedangkan kepentingan khusus
pemenuhan yang terkait dengan aspek khusus kehidupan (surlvival)kelompok
yang bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat melaksanakan adatnya
masing-masing tanpa intimidasi dari pemerintah dan ketuatan kelompok yanga
lain. Kerangka multikulturalisme yang ketiga merupakan ideologi politik dengan
menjadikan setiap orang atau kelompok minor dapat menyampaikan aspirasi
politiknya tanpa terjadinya penindasan dan ancaman. Kerangka keempat berkaitan
dengan puncak dan tujuan dari multikulturalisme yang pantas diperjuangkan
dikarenaka dibalik itu ada tujuan hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak
hidup. Hal tersebut dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan penghargaan
terhadap perbedaan. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Kebijakan multikulturalisme dalam
konteks negara plural saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power
sharing, lebih sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol budaya,
tetapi pada alokasi kekuasaan, dan kebijakan resmi yang mengakomodir semua
kelompok dalam rangka mempertahankan sekurang-kurangnya paraktek kebudayaan
yang unik dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan sistem
kepercayaan bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan
Agama Berwawasan Multi Kultural).
Multikulturalisme dapat berkembang
menjadi hiper-multi-kulturalisme. Steve Fuller mengemukakan bentuk
hipermultikulturalisme yang perlu dihindari :
ü
Menganggap kebudayaan sendiri yang
lebih baik.
ü
Pertentangan antara budaya barat
dengan sisa-Barat.
ü
Pengkuan terhadap berjenis-jenis
budaya.
ü
Penelitian budaya suatu entitas yang
homogen dikuasai oleh laki-laki dan bias gender perempuan. Kelima,
mencari “indigeneus culture”.Pemujaan terhadap indigeneus
culture hal yang berlebihan dan kerjasama internasional mengandung
unsur kebudayaan lain dapat diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang
berbeda.
ü
penduduk asli yang berbicara tentang
kebudayaannya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudayaan
setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam multikulturalisme global masih
berpegang pada doktrin asimilasi yang satu arah dan logika kebersamaan. Hal ini
menjadi tantangan besar terhadap studi multikulturlisme yang selaknya menggali
lebih jauh lagi masalah identitas dan perbedaan.(Farah Wardani, Representing
Islam). Tilaar juga, mengemukakan tantangan multikultuiralisme,
1.
Hegemoni barat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan.
2.
Esensialisasi budaya.
3. Proses
globalisasi yang berupa monokulturalisme karena gelombang dasyat globalisasi
menggiling dan menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar